Kamis, 30 September 2010

Tafsir Surah Al-Ma’un

Pembelaan Atas Kaum Tertindas

Memang surat pendek ini penuh makna dan memposisikan kaum teraniaya, tidak berdaya (dari segi harta) untuk mendapatkan tempat dan perhatian yang sungguh-sungguh dari ummat yang mengaku beragama. Di mata surat ini, pendusta agama adalah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mengajurkan memberi makan orang miskin.  Pernyataan Allah yang begitu tegasnya untuk menegasi bahwa kekurangperhatian pada orang-orang “tak berdaya” dan membiarkan orang miskin berada dalam kemiskinan adalah PENDUSTA AGAMA.  Yap… pendusta.  Maka kecelakaanlah buat orang-orang yang shalat, yang lalai dalam shalatnya, berbuat riya dan enggan menolong dengan barang yang berguna.

Beragama dalam surah Al-Ma’un tidak selau identik dengan kesalehan dan ketakwaan.  Beragama dan melakukan ritual-ritual agama tidak selalu menjadikan seseorang bisa dipercaya dan membawa amanah (hlm 3).  Wacana besar yang dibawa surah ini adalah membalik semua itu dengan mengatakan bahwa kalangan orang beragama itu “ada pendusta agama”.  Orang yang haji dan shalatnya rajinpun bisa jadi adalah pendusta agama.  Simbol agama dan kesalehan vertikal tak selamanya sepadan atau segaris dengan apa yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri.  Bahkan bisa jadi kesalehan ritual agama yang dilakukannya merupakan manipulasi semata untuk mengkhianati agama .
Surah Al-Ma’un ini juga membawa pesan : betapa pentingnya keterlibatan sosial dan pembelaan sosial kepada masyarakat miskin, minoritas, dan pentingya membela ketidakadilan dan menjustifikasi gerakan-gerakan sosial berbasiskan santri dan kitab kuning (hlm 4).  Jelas sekali bahwa surat ini memberikan petunjuk bahwa kesalehan ritual tidak menjadi bermakna tanpa kesalehan sosial.
Buku setebal 270 hlm ini, menjelaskan pula bahwa cita-cita NU maupun Muhammadiyah terilhami oleh poin-poin dari Surah Al-Ma’un ini.  Mendirikan panti asuhan, sekolah, rumah sakit, dan lembaga nirlaba lainnya dimotivasi oleh pesan tersurat dari Al Qur’an.
Pembahasan panjang lebar dari penulisnya perihal banyak hal diuraikan pendek-pendek dan panjang-panjang dalam bahasa kedalaman yang “sulit dipahami” oleh orang awam.  Baru mulai bab ke tujuh (hlm 104) pembahasan masuk pada skenario mengenai surah ini.  Sumber-sumber rujukan dan analisis di sana-sini dari berbagai sudut pandang mengenai wahyu, mushaf,  mufasir, dan lain sebagainya cukup memperpanjang isi buku ini.  Boleh jadi memang bahasan penting untuk mereka yang ingin ngelmu tentang berbagai logika-logika kebahasaan dan sumber serta analisisnya; tapi sangat melelahkan untuk orang yang hanya ingin membaca nuansa praktis dan esensi persoalannya.  Buku ini lebih mirip dengan karya skripsi atau mungkin tesis ketimbang pembahasan dari usaha memaknai dan memotivasi agar pembaca umum menyadari betapa perhatian Allah terhadap kaum tertindas harusnya dijadikan perhatian seksama.  Bukannya penulis tidak menyampaikan pesan ini, tapi kerumitan isi sangat kuat terasa sedangkan fakta-fakta sosial dan kemiskinan yang selayaknya muncul pula dalam pembahasan kaum tertindas sebagai fenomena negeri ini nyaris tidak muncul sama sekali ke permukaan.
Buku dengan bahasan berat ini cocok untuk pembaca yang ingin mendalami lebih dalam dan lebih ke dalam lagi pesan yang dikandung dengan pemaknaan yang jauh lebih ke dalam.  Dengan kata lain, buku ini sangat bersifat akademis ketimbang menjelaskan fenomena sosial yang menggugah ummat atas kurangnya perhatian pada pesan yang dikandungnya.  Kering dari ilustrasi aktual adalah salah satu titik lemah dari buku ini yang semestinya dengan judul segagah ini akan lebih baik jika dilengkapi fenomena sosial yang merujuk pada perhatian antropologis dan struktural kemiskinan bangsa ini.
Beberapa bagian dari buku ini, bisa jadi pula menimbulkan polemik karena kebebasan berpikir dari penulisnya misalnya mengenai shalat dua bahasa (hlm 215).  Namun, secara keseluruhan bahasannya cukup menarik untuk disimak, lepas dari sepakat atau tidak sepakat dengan pandangan penulisnya.  Toh fakta juga kita lihat sehari-hari bahwa ritual-ritual dan tampak sebagai orang bertakwa begitu kentara, tetapi ketika bertemu dengan orang miskin maka matanya dan mata hatinya dialihkan ke tempat lain.  Bahkan negara dan pemerintahpun berbuat demikian.  Mengusir orang miskin jauh lebih mudah dari pada mengentaskan dari kemiskinan.  Dan kita merasakannya setiap hari…

1 komentar:

  1. siip isi blog ini, semoga harapan para pengasuh panti didengar dan dikabulkan oleh Allah Swt.

    BalasHapus