Kamis, 30 September 2010

Membina Kerukunan Umat Beragama

SEBAGIAN orang ingin memberikan pemikiran baru dalam upaya membina kerukunan antar komunitas pemeluk agama yang berbeda. Tapi sayang, sebagian pemikiran itu tidak berlandaskan kepada sumber Islam (Alquran dan Sunnah).
 Maka terjadi benturan pemikiran, bukan memberikan solusi, malah mendatangkan masalah baru yang perlu diberikan solusi. Padahal, Alquran telah menjelaskan dasar keyakinan hidup bertoleransi antar komunitas pemeluk agama yang berbeda itu.

Sejak dulu, Alquran telah menegaskan bahwa dasar pemikiran hidup toleran antar umat beragama itu ialah; Pertama, perbedaan keyakinan agama antar umat manusia merupakan kehendak Allah SWT (Sunnatullah). Karena, jika Allah SWT menginginkan, bisa saja semua umat manusia di dunia ini beriman kepada Islam (QS Yunus: 99). Dengan keyakinan ini, umat Islam menyadari bahwa perbedaan agama antar umat manusia ini merupakan ketentuan Allah SWT yang mesti disikapi sesuai dengan petunjuk-Nya (Alquran).

Kedua, balasan atas keingkaran (kufur) seseorang terhadap agama Allah SWT akan diberikan di akhirat kelak. Di dunia ini, umat Islam hanya berkewajiban memberikan dakwah, dan sanksi hukum atas penolakannya hanya ada di hari perhitungan nanti (QS. Al-Ra’d: 40). Ketiga, manusia diperintahkan oleh Alquran untuk berlaku adil kepada semua orang, sekalipun kepada orang yang berbeda agama (QS. Al-Maidah: 8). Berlaku adil itu mencakup segala perbuatan baik dalam kehidupan manusia.

Keempat, Islam memuliakan manusia atas dasar kemanusiaannya (QS. Al-Israk: 70). Dengan konsep ini, pada prinsipnya manusia itu mendapat kemuliaan atas dasar dirinya sebagai manusia, tanpa mengaitkannya dengan agama, bangsa, warna kulit, dan lainnya.

Empat dasar yang digariskan oleh Alquran ini dapat dijadikan sebagai panduan dalam menerapkan sikap hidup toleran antar pemeluk agama yang berbeda. Dan Alquran juga memberikan syarat, bahwa sikap hidup toleran antar umat beragama yang penuh dengan keadilan, damai, aman, dan berbuat baik itu bisa terwujud selama non muslim, baik Ahli Kitab atau lainnya, tidak memerangi umat Islam, dan tidak mengusir umat Islam dari negerinya (QS Al-Mumtahanah: 8-9).

Dua syarat ini merupakan dasar pijakan bagi terlaksananya empat panduan yang disebutkan oleh Alquran itu. Jadi, perbedaan agama itu bukan merupakan sebab terjadinya permusuhan yang berakhir dengan peperangan. Tapi, jika dua syarat pijakan dasar hidup toleran itu dilanggar, maka hidup harmonis, toleran dan damai antar komunitas pemeluk agama yang berbeda itu akan berubah menjadi permusuhan, dan tidak jarang akan berakhir dengan pertumpahan darah.

Penerapan sikap toleran antar komunitas pemeluk agama yang berbeda itu, Islam telah memberikan perlakuan istimewa kepada Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen). Karena dua agama itu masih serumpun dengan agama Islam.

Perlakuan istimewa itu tetap berlaku, sekalipun kedua kitab suci dua agama itu telah mengalami perubahan, pengurangan, dan penambahan. Islam menganjurkan melakukan dialog antar penganut dua agama itu dengan baik dan saling menghargai, agar dialog yang dilakukan itu tidak menimbulkan permusuhan dan kebencian (QS Al-Ankabut: 46). Bahkan, Islam juga membolehkan kepada umatnya untuk memakan sembelihan Ahli Kitab, dan juga membolehkan menikahi wanita Ahli Kitab (QS Al-Rum: 21). Hal ini merupakan sikap toleransi Islam yang sangat besar kepada kaum Ahli Kitab.

Teladan Rasulullah SAW
Rasulullah SAW merupakan teladan hidup bagi umat Islam, dan prilakunya dapat dijadikan panduan dalam menelusuri kehidupan sosial di tengah masyarkat yang pluralis ini. Di antara persoalan sosial dalam masyarakat pluralis adalah ketentuan sikap seorang muslim dalam bergaul dengan non muslim.

Di antaranya, Asma’ binti al-Shiddik merasa ragu berbuat baik kepada ibunya yang tidak memeluk Islam. Dalam keraguan itu, Rasulullah SAW memberikan panduan dan memerintahkan kepada Asma’ untuk tetap berbuat baik (berbakti) kepada ibunya itu (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim). Bahkan, Imam Muhammad Hasan al-Hanafi menegaskan kewajiban seorang anak muslim memberikan nafkah kepada orang tuanya yang non muslim.

Berbuat baik kepada orang yang berbeda agama itu juga bisa dilakukan dalam bentuk berkunjung ke rumahnya. Sebagaimana Rasulullah SAW menziarahi pamannya non-muslim (musyrik), Abu Thalib, yang sedang sakit. Toleransi antar sesama pemeluk agama yang berbeda itu diterapkan Rasulullah SAW pada waktu menerima kedatangan utusan Kristen (Nashara) Najran.

Rasulullah SAW menyambut mereka di Masjid Nabawi. Dan ketika waktu Ashar menjelang, Rasulullah SAW mengizinkan para utusan itu melaksanakan ibadahnya di masjid itu. Rasulullah SAW juga menampilkan teladan yang baik dengan berdiri memberikan penghormatan kepada jenazah seorang Yahudi yang diusung masyarakat menuju ke tempat penguburannya.

Terkadang, berbuat baik antar penganut umat beragama itu juga bisa terjadi dalam bentuk pemberian hadiah. Dalam sejarah, Rasulullah SAW pernah menghadiahkan Kurma Ajwah kepada Abu Sufyan yang masih musyrik, dan Abu Sufyan pula pernah menghadiahkan makanan kepada Rasulullah SAW.

Dan juga pernah terjadi, seorang Yahudi mengundang Rasulullah SAW makan roti gandum bersama, lalu Rasulullah SAW menghadiri undangan itu (HR Imam Ahmad). Rasulullah SAW juga pernah menerima hadiah dari penguasa Mesir non muslim (HR Imam Bukhari). Dan Umar bin Khattab juga pernah memberikan pakaian bagus kepada saudaranya yang non-muslim (Imam Nawawi: Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy: 14/39).

Bahkan, dalam pemerintahan Islam, penduduk non-muslim (Ahli Zimmah) punya hak yang sama dengan umat Islam. Walaupun terjadi perbedaan pendapat di antara ulama fiqh, namun pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, seorang muslim yang membunuh seorang non-muslim, juga dikenakan hukuman kisas (hukuman setimpal).

Imam Syafii mengatakan, Ali bin Abu Thalib juga pernah melaksanakan hukuman kisas atas seorang muslim yang membunuh non-muslim (Musnad Imam Syafii: 1/344). Dan sikap kedua pemimpin Islam (Khalifah) itu dijadikan pegangan oleh Khalifah kedelapan pemerintahan Umawiyyah, Umar bin Abdul Aziz (Munqiz Mahmud al-Saqqar: Al-Islam Risalah al-Ta’ayusy).

Fakta Sejarah
Catatan sejarah juga menunjukkan kesamaan hak bagi non-muslim dalam pandangan hukum Islam. Pada masa Negara Islam (khilafah) di bawah kepemimpinan Ali bin Abu Thalib, terjadi satu peristiwa yang diabadikan dalam tinta sejarah. Yaitu, Khalifah Ali bin Abi Thalib kehilangan baju besinya. Dan dia menemukan baju itu di tangan seorang Yahudi.

Sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan Negara Islam, Ali mengadukan kasus itu kepada hakim, Syuraih al-Qadhi. Dan akhirnya, Ali kalah dalam pengadilan. Namun begitu, Yahudi itu merasa kagum dengan keadilan pemerintahan Islam, dan dia mengakui kesalahannya yang telah mencuri baju besi Ali, lalu dia menyatakan masuk Islam, dan Ali memberikan baju itu kepadanya (Ibnu Katsir: Al-Bidayah Wa al-Nihayah).

Keadilan pemerintahan Islam dalam memberlakukan non-muslim ini juga tercatat dalam berbagai lembaran sejarah. Bahkan, penduduk Kristen Damaskus Suriah menegaskan sikap mereka kepada Gubernur Islam, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, bahwa mereka lebih menerima pemerintahan Islam daripada pemerintahan Romawi Kristen. Dan pemimpin Islam pada masa dulu tetap berlaku adil kepada non-muslim.

Tercatat, Umar bin Khattab memberikan wasiat kepada pemimpin setelahnya untuk berlaku adil kepada Ahli Kitab, sekalipun yang melakukan pembunuhan kepada dirinya seorang non-muslim, Abu Lu’lu’ah. Perlakuan hidup toleran antar pemeluk agama yang berbeda itu juga diterapkan umat Islam dengan harmonis dan damai pada masa pemerintahan Islam Umawiyyah, Abbasiyyah, dan Usmaniyyah. Dan fakta sejarah ini diakui keberadaannya oleh para sejarawan Barat Kristen.

Jadi, umat Islam tidak perlu lagi merubah sebagian keyakinan akidahnya dalam menjalani hidup toleran dengan pemeluk agama lain. Karena panduan agung yang terdapat dalam Alquran itu telah berhasil diterapkan dengan baik sejak masa Rasulullah SAW hingga hari ini. Wallahu A’la.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar